22 Oktober 2015

Dia Berlalu, Busuk Terdengar


       Berbicara tentang dia, maka dialah yang merobek topeng, namun terkadang dia pula yang memahat topeng di wajah. Yang mampu meruntuhkan tembok - tembok bebatuan besar di cina, juga tembok - tembok mungil di hati manusia.

       Pada awalnya, dunia perkuliahan sangat lah indah. Dikelilingi banyak teman, rekan, hingga mantan, setiap ada kesempatan selalu digunakan untuk jalan – jalan, menyenangkan. Namun dia berlalu, pergi tanpa permisi. Setiap kali dia berlalu, dia sedikit demi sedikit mengikis topeng topeng yang digunakan oleh teman, rekan, juga mantan. Memperlihatkan wajah asli mereka, memperlihatkan taring mereka yang selama ini hanya mereka tunjukkan di belakang kita. Di balik topeng itu juga mulai terdengar bau - bau busuk tentang kita yang selalu mereka bicarakan di belakang kita.

       Saat itu jugalah dengan paksa, dia dengan sangat perlahan mulai memahat topeng ke wajah kita. Topeng berbentuk senyuman yang dengan paksa dipahat di atas daging dan tulang kita, yang pada akhirnya topeng itulah yang selalu kita tunjukkan pada teman, rekan, juga mantan. Perih, bukan di wajah, namun di hati. Hati yang sedih, suaranya tak di dengar wajah.

Sumber
       Ketika kita masihlah anak - anak. Bintang - bintang di langit tampak lah begitu dekat, impian - impian yang kita gantungkan di sana, tampaklah begitu mudah akan kita gapai. Namun sekali lagi dia berlalu tanpa memperdulikan kita. Membuat bintang tampak begitu jauh, impian indah yang kita gantungkan dulu, mulai hilang dari jangkauan pandangan. Tangga yang kita bangun dengan memeras darah untuk menggapainya, juga mulai rapuh saat dia berlalu. Menghentikan kita untuk melanjutkan membangun tangga itu, namun juga menyadarkanmu sudah sejauh apa kita mendaki. Saat kita tengah dalam kebimbangan besar, sekali lagi dia pergi, meruntuhkan tangga – tangga rapuh kita, menjatuhkan kita ke tanah, menenggelamkan kita ke dasar laut, menyadarkan kita bahwa bintang itu di luar jangangkauan.

       Ah, dia, sang waktu. Dia terus saja berlalu tanpa permisi, semakin aku sadar bahwa semakin lama aku kuliah, semakin terlihat bahwa wisuda masih jauh. Bapak, Ibu, maaf.