4 Maret 2017

Sebuah Seni Tingkat Tinggi

Memasak adalah sebuah seni tingkat tinggi yang dapat mengkonversi cinta menjadi bentuk yang dapat dinikmati secara kasat mata. Dan kita semua telah tahu,  apa sih yang dibubuhi dengan cinta dan tak berubah menjadi lebih indah dan nikmat? Sebuah susunan kayu, pasir, tanah, busa, dan berbagai elemen lain yang dibubuhi dengan cinta, maka jadilah rumah. Namun, hal ini juga lah yang menyebabkan mustahil lahir masakan enak dari orang yang tidak mencintai masakan, ataupun memasak. Akan cukup sulit bagi orang yang lebih suka kulitnya putih dan terlihat cantik dan membenci panasnya dapur  untuk membuat masakan yang mampu membahagiakan bagi yang memakannya.

Akan tetapi memang terkadang cinta saja tak cukup untuk membuat sebuah masakan enak untuk setiap orang, karena mustahil menciptakan sebuah masakan yang disukai setiap manusia! Simbah ku yang sudah sedari jaman Indonesia masih dijajah jepang makannya hanya daun singkong dan tempe, ketika ku bawakan oleh – oleh Maccaroni n Cheese beliau lebih memilih berhenti memakan setelah gigitan pertama. Beberapa teman ku yang berasal dari Sumatera ketika tengah bermain ke Jogja dan ku ajak menikmati Gudeg Jogja, mereka berujar “Nggak suka aku, Do. Enek, terlalu manis,” sembari menggoyangkan seluruh badan. Akan tetapi memang begitulah hidup, berusaha membuat setiap orang bahagia dengan apa yang kita lakukan itu setara dengan membuat hujan turun ke langi. Bagaimanapun aku berusaha mengemas, membungkus, dan mempercantik sebuah tindakan, beberapa orang memang ditakdirkan untuk membenci, beberapa orang diciptakan dengan lidah yang berbeda.
Sumber

Bahkan masakan yang sesuai dengan lidah kita, yang dimasak dengan penuh cinta dan perhatian yang hanya ditujukan untuk kita pun terkadang kita menolak untuk memakannya. Berkilah dengan berbagai alasan beberapa dari kita lebih memilih pergi ke beberapa restoran “hitz” ketimbang menikmati semangkuk cinta buatan Ibu. Kita ini memang suka bertindak bodoh –kok kayak tulisan sebelumnya- tak menyadari sesuatu itu berharga hingga sesuatu itu hilang dari kita, adakah yang lebih indah dari semangkuk cinta yang penuh seni dan perhatian karya Ibu di pagi hari? Nikmatilah, nikmatilah, sebelum Tuhan meminta Ibu kita berkarya di surga sana, nikmatilah…


28 Februari 2017

Manusia Bodoh!

Adakalanya manusia berlaku bodoh. Adakalanya manusia yang ketika hujan turun memilih menarik selimut, memejamkan mata sembari mengutuk & menyumpahi hujan di dalam hatinya, namun ketika hujan pergi dan tak kunjung kembali, dia berujar “Ah…, kemanakah engkau sang hujan? Tak sadarkah engkau aku di sini memendam rindu?”. Begitulah manusia, adakalanya berlaku bodoh! Menyianyiakan pendamping hidup yang baik -pacar-, memilih untuk mengacuhkan, hingga akhirnya dia pergi, dan ketika itu terjadi, barulah dia tersadar betapa dia merindukan dia, yang kini telah menjadi mantan.
Sumber

Akhir – akhir ini akupun demikian, berlaku bodoh! Kamu tahu, aku menyukai sebuah klub sepakbola di Jerman sana, sebut saja Bayern Munchen. Dan akhir – akhir ini juga permainan bola dari klub favoritku ini begitu membosankan, minim goal dan minim kreativitas. Dan dalam hati aku mulai berujar, “Ah, padahal pas dilatih Pep, Bayern begitu menyenangkan dilihat, begitu menarik, kalau saja Pep bertahan,”. Padahal ketika aku melihat ke belakang sejenak ke masa ketika Pep masihlah kepala pelatih Bayern, kerap kali aku justru memaki Pep akan keputusannya yang terkadang sulit dipahami dan terkesan bodoh. Beberapa kali aku pun sempat berkicau dengan hastag PepOut, namun ketika dia telah pergi, hati merindu, mata merindu sepakbola berkualitas. Ah, aku ini, manusia bodoh.


Pada akhirnya nasi telah menjadi bubur, kalau begitu mari tambahkan suwiran ayam, bawang goreng, kuah kaldu, dan kerupuk. Karena pada akhirnya Pep tak akan kembali lagi dalam waktu dekat, maka mari berharap saja Ancelotti menambahkan sejimpit msg pada buburnya yang tawar, sehingga kita mampu berada dalam satu pemahaman, sehingga aku bisa dengan tenang melepas sang mantan, sehingga aku berhenti bodoh. 


17 Februari 2017

Seloyang Brownies Untukmu


Kamu tahu? Aku terjatuh. Aku terhempas ke dasar jurang. Terlebih lagi jatuh ini tak sekedar jatuh biasa, aku dijunjung -diangkat- terlebih dahulu ke langit ke tujuh, barulah kemudian dihempaskan, dilemparkan, secara sengaja. Aku yang tengah di bawah, tenggelam dalam kegelapan, aku menyadari bahwa di bawah sini tak ada siapapun. Tak ada yang mengulurkan tali mengangkatku, tak ada mengajakku kembali ke cahaya. Aku bahkan mulai berhenti meminta pada Tuhan, aku berfikir takdirnya terlalu kejam.  Aku menutup hatiku pada dunia, aku menutup pintu rumahku pada semuanya….
Sumber
Aku merangkak, sendirian. Memanjat, mencoba menggenggam kembali apa yang kumiliki dulu. Namun, semua telah berubah, ada yang membusuk, ada yang mati. Sayapku membusuk, api semangatku mati. Kemudian aku memutuskan, untuk meninggalkan yang membusuk dan mati, aku mencoba berjalan dengan segala yang tersisa.
Karena itulah, aku sempat meninggalkan halaman gosong ini, tahan seberapa lama sih brownies ditinggalkan tak diurus? Aku yakin jamur akan bertebaran dimana – mana, bahkan tak akan ada lagi yang tersisa.
Namun ternyata, brownies gosong yang tak pernah dibuat lagi ini masih ada beberapa orang yang setia mencarinya, merindukan brownies sebagai cemilan tak sehatnya. Ah, aku memang cerdas mendramatisir sesuatu, Bukan? Aku terjatuh? Sayapku membusuk? Hah! Zainuddin saja sanggup, kenapa aku tidak? Ah! Kalau tak bisa terbang cukuplah berjalan, memang memakan waktu lebih lama, tapi setidaknya pada akhirnya aku bisa tiba di sana.

Maaf, sudah lama aku tak memanggang brownies, sudah lama jariku tidak mengaduk huruf menyusunnya menjadi cerita. Tapi sudahlah, yang berlalu biarlah berlalu, nasi yang menjadi bubur tak seburuk itu rasanya, nikmat bila disantap di pagi hari. Ah, kemarilah kawan, aku punya seloyang brownies dan segelas teh hangat di meja ini, mari nikmati senja ini di halaman rumahku.

14 Februari 2017

Kedamaian Yang Kau Cari Itu, Ada Di Ujung Tembok Cina!


Di dataran Asia yang  terhampar mendekati bekas negara adidaya, Uni Soviet sana, berdiri kokoh sebuah keajaiban dunia, warisan leluhur yang hingga saat ini masih saja mengundang decak kagum jutaaaan mahluk, sebut saja itu Tembok Besar Cina. Tak sekedar pajangan, bukan pula sebuah pamer kekuasaan dari sebuah dinasti, namun tembok itu bermakna lebih, tembok itu membawa harapan jutaan rakyat kerajaan kuno Cina. Harapan itu adalah keselamatan, apalagi yang lebih indah dari “rasa aman” di tengah peperangan kerajaan Cina dan suku Nomad? Cukuplah aku berbicara batuan cokelat tempat tergantungnya harapan rakyat cina waktu itu. Aku tak mencintainya, aku hanya terkagum dengannya, dengan mereka.

Lebih dari 8000km batuan tersusun rapi membentang disepanjang Cina, tiga generasi “dinasti” secara sambut - menyambut menggarap “proyek” arsitektur besar kala itu, Qin, Han, dan Ming. Akan tetapi yang membuatku terkagum bukanlah seberapa besar ataupun panjangnya, aku bukanlah seorang gadis. Yang membuatku terkagum adalah konsistensinya! Kita semua tahu, memulai sesuatu itu sangatlah mudah, yang sulit adalah menjaga konsistensinya. Tembok besar Cina tak akan semegah saat ini tanpa konsistensi dari rakyat Cina, tak sekedar pemimpin yang berganti, dinasti pun berganti. Lihat saja “Candi” Hambalang yang berada di negri kita ini, yang dibangun tanpa konsistensi namun penuh konspirasi itu! Begitu berganti kepala, proyek berhenti, “candi” terbengkalai.

Sumber
Konsistensi adalah hal yang sangat sulit untuk dicapai, beberapa waktu lalu aku sempat berusaha menulis sebuah kisah bersambung tentang detektif, memulainya begitu menyenangkan. Mencari nama, menggambarkan karekter, memilih lokasi, mencari materi, Ah! Semua begitu menegangkan, bahkan bagaimana kisah ini akan kuakhiri pun telah terlintas di kepala, namun bahkan ketika prologue belum usai tertuang di kertas, motivasi yang sempat menggebu itu lenyap, layaknya mesin 2 tak.

Aku lelaki yang punya banyak mimpi, namun aku juga hanyalah segumpal lemak yang sangat pemalas. Ah! Masih ada besok, Budiharja tak akan lari kemana walau kisahnya tak kutuliskan, tak akan ada gadis yang menyukainya, bahkan belum ada yang mengenalnya karena dia barulah tokoh dalam beberapa lembar hvs. Sempat pula kawan lama hadir mengajak untuk sebuah kolaborasi tulisan, “Terlalu banyak kisah indah di asrama yang sayang apabila tidak diceritakan pada mereka di luar sana, Teman” katanya. Namun obrolan hanyalah sebatas obrolan, sekali lagi bahan bakar habis ketika baru berjalan 5 meter dari garis start. Ah, aku ingin menggapai beberapa mimpiku Tuhan. Aku ingin ini, aku ingin itu, aku ingin segalanya, Tuhan.  Sehingga aku bisa memakan sarapan buatan Ibuku tanpa harus memikirkan apapun, absolute peace.

Baiklah… Mari kita mulai… perjalanan mencari kedaimaian ini.