20 Maret 2013

Cerita Bersambung: Untitled

-->
“Indah, kan?” celetuknya tanpa mengalihkan pandanganya dari langit selatan Jogja, tetap asik sendiri dengan sesekali menyedot susu kotak yang aku berikan. Aku tak sempat menjawab, hanya memberikan sebuah anggukan lemah tanda setuju. Di sekelilingku memang hanyalah tanah tandus kering kerontang yang banyak batu bersebaran dimana–mana. Beberapa daun Jati yang kering juga menghiasi tanah bergerak kesana kemari berjalan bersama angin, semakin menggambarkan betapa tandusnya daerah ini. Aku terduduk di tepi aspal, bertopang dagu pada sebuah pembatas jalan di tikungan tajam jalan antara Imogiri dan Panggang. Sebuah pembatas jalan yang terlihat sudah sangat berpengalaman dengan kerasnya hidup. Sudah compang camping disana–sini. Bisa saja memang karena usianya ataupun banyak sekali pengendara yang teledor dan menabrakkan motonya kesitu, tak terkecuali aku tentunya. Lupakan sejenak keteledoranku tadi. Ini adalah pertama kalinya aku terduduk disini, mengamati Wonosari dari ketinggian. Lampu–lampu perumahan seakan akan berkolaborasi menimbulkan kerlip kerlip indah seakan–akan tengah bercerita tentang sesuatu. Sebuah background yang luar biasa dalam pementasan itu, mega oren keemasan seakan – akan memberikan dorongan untuk terus meraih sebuah kemenangan. Angin sore itu juga berhembus lumayan kuat. Menerbangkan beberapa daun Jati, menggantikan tugas seseorang untuk menyapu tepi jalanan itu, menerbangan dedebuan yang kemudian menerpa wajahku.
“Bagian mana yang paling kamu suka?” tanyanya lagi dan menyadarkanku dari lamunan panjangku. “Kalau aku gedung tinggi yang lampunya meriah itu, kata teman–temanku itu tempat main futsal, hemm.. Kapan ya aku bisa main disana?” sambungnya lagi yang menggambarkan betapa periangnya anak ini.
“Kalau aku,” mencoba berfikir sejenak, menunggu rangsangan dari mataku yang disalurkan oleh neuron untuk sampai ke otak dan disalurkan kembali ke mulut. Kembali mengamati sekeliling, mencari–cari bagian yang memang aku sukai. “Aku suka tempat ini, suasana dan pemandangannya bagus” jawabku setelah proses yang cukup lama. Aku tak begitu tertarik dengan tumpukan semen dan besi di tengah Wonosari itu, hampir setiap hari aku beraktifitas disana soalnya. Memeras tenaga dan keringat.
“Eh tadi aku liat kamu main bolanya jago, biasa main dimana emangnya?” aku mencoba mengambil inisiatif pembicaraan.
“Ahh... Nggak juga” jawabnya sembari mengalihkan pandangan, menyembunyikan malu dariku “Biasanya aku main di depan rumahku itu” dengan bangganya dia menunjukan sebidang tanah kosong di depan rumahnya.
“Kalau mau besok kamu main ke gedung kesukaanmu itu aja, kita main futsal bareng” kataku dengan masih tetap asik memandang ke kejauhan.
“Eh… Tapi kan mahal kalau main di…”
“Udah besok pokoknya dateng aja ya, jam 3 sore” aku memotong omonganya “Eh… Itu ayahku udah datang, bantuin aku naikin motor ini ke mobil ya” sambungku lagi.
Inikah yang namanya takdir? Baru saja tadi sore aku berniat kabur dari rumah. Mencoba melarikan diri dari semua tekanan yang aku hadapi. Aku tak sempat berfikir panjang. Aku tarik gas sekencang–kencangnya menuju selatan. Terus, terus dan terus. Tak terasa kumpulan air yang sedari tadi kutahan dalam mata menetes keluar. Aku terbayang lagi ketika tadi untuk kesekian kalinya ayahku menampar ibuku. Untuk sesaat sebuah rekaman ulang kejadian tadi seakan akan diputar kembali di depan mataku. Hatiku semakin marah. Aku sudah tidak sadar kemana tujuan motor ini. Dan ketika aku tersadar aku sudah terbaring di tanah tandus berbatu dan di depanku ada seseorang yang seumuran denganku tengah menjugling bola. Sesekali dia melakukan gerakan samba. Kegembiraan tergambar sekali diwajahnya, seakan akan dia tengah bercanda dengan bola bututnya itu.
Bersambung...


Best gift in 18th



Sudut matanya sempit, menggambarkan dengan jelas bahwa dia memiliki darah Asia. Kulitnya jernih layaknya orang–orang cina lainya. Wajahnya cantik, cantik yang menentramkan hati. Dia juga sudah sangat dewasa dalam usianya. Ini bukanlah kisah asmaraku. Ini adalah tentang gadis mungil yang kutemui di kelas Kemipaan-10, gadis manis yang semanis kayu manis.
Tak banyak yang kuketahui dari dirinya. Aku ada di barisan belakang bangku kuliah, sedangkan dia ada di baris depan bangku kuliah. Dia rajin mencatat, dan aku malas mencatat. Wajar kalau dia kebanjiran nilai A dan aku kebanjiran nilai B atau malah C. Dia adalah orang yang paling sabar se-MIPA, hehe. Aku tidak tau harus mengungkapkannya bagaimana. Tapi dia adalah korban kejahilanku. Mau di dunia nyata ataupun di dunia maya aku selalu saja menggodanya. Alasan? Terkadang tak perlu alasan untuk melakukan sesuatu, bukan?
Awal pertemuanku denganya bukanlah pertemuan yang spesial layaknya pertemuan pertama antara Hawa dan Adam. Aku yang waktu itu memang sok kenal langsung cap cis cus mengajak ngobrol dia. Meski ketika aku meminta nomor HPnya tidak diberi >.< tapi itu bukanlah masalah. Lama kelamaan kita semakin dekat, dan aku pun kadang–kadang semakin jahil, dan dia pun sepertinya sudah semakin sabar. Kadang–kadang kita juga berbagi sedikit cerita soal nilai, keluarga, teman, bahkan asmara.
Apa yang membuat si Pemalas seperti aku mau membuang banyak kalori untuk menggerakan jari–jari, merangkai huruf–huruf agar sedikit memiliki makna, hanya demi menggambarkan sosok dirinya?
9 Summers 10 Autumns: Dari kota Apel ke The Big Apple.
Adalah kado ulang tahunku yang ke-18 darinya. Jujur selama hidupku jumlah kado yang aku terima masihlah dapat dihitung dengan jari. Merayakan ulang tahun? Jangankan untuk beli kue tar, beli beras buat besok saja harus mikir dulu. Ya, hidupku tak semewah kebanyakan orang. Hidupku sederhana tapi penuh warna. Aku tau rasanya lapar, aku tau rasanya kenyang. Aku tau rasanya lelah bekerja, aku tau rasanya nikmat tidur setelah bekerja.
Aku tak pernah berharap mendapat kado mewah, aku paham betul siapa diriku. Tapi apa yang dia berikan padaku? Sebuah buku penuh inspirasi pembangkit motivasi. Dia berdalih agar aku punya semangat untuk meraih mimpiku. Tapi sekali lagi aku paham siapa diriku, manusia biasa bertabur dosa. Tapi sekali lagi, tahukah kalian apa yang TUHAN berikan padaku? Ya, tuhan memberiku seorang teman, tuhan memberiku kado terbaik di usia 18 tahunku, si Kayu Manis.
Yogyakarta,
Di tanggal yang sudah lewat dari hari ulang tahunku.