31 Desember 2013

Sedikit Bercermin Sebelum Memulai Kencan Dengan 2014





Tinggal hitungan jam. Dua tangan ini cukup untung menghitungnya. Sebuah lembaran baru akan dibuka. Sebuah halaman kosong, bersih dari segala coretan, halaman suci. Dimana cerita  yang akan tertulis disana hanya tuhan dan para malaikat yang tahu. Tetapi tetap saja, akulah yang akan menulikan kisahku di sana, bagaimana huruf pertama kutuliskan, bagaimana paragraf pertama kurangkai, itu semua bergantung padaku. Tergantung bagaimana aku memasuki halaman baru itu. Masihkah meneruskan cerita lama, atau benar – benar sebuah cerita baru.
Tahun ini, 2013. Banyak kejadian yang telah terjadi. Perlu satu rak buku untuk menuliskan kisah ini. Perlu setumpuk kanvas untuk melukiskan keindahannya. Dan memerlukan beberapa mangkok untuk menampung air mata dari tangisku selama ini. Aku bahkan lupa huruf apa yang pertama kali kuletakkan di halaman baru waktu itu. Begitu banyak kisah selama setahun ini. Beberapa berakhir senyuman, banyak juga yang berakhir menjadi tangisan.
Keluarga. Lagi – lagi aku hanya memiliki sedikit kesempatan bersama mereka. Aku mulai lupa berapa uban dikepala ayahku. Aku mulai buram soal bagaimana lembutanna ibuku saat membelai rambutku. Tawa adek ku juga mulai menguap dari bayangan. Tahun ini adalah tepat dua tahun aku tidak pulang kerumah. Iya, aku menunaikan kewajiban-Nya, menuntut ilmu. Beruntungnya aku menemukan, lebih tepatnya memiliki keluarga lain di sini. Aku menemukan kegalakan ayahku pada sosok mas Dian. Aku juga menemukan kecrewetan ibu ku di dalam sosok mbak Anita. Aku bahkan menemukan sosok yang tak kumiliki, kakak, dalam sosok mas Hendri. Aku juga menemukan banyak saudara lain di sini. Keluarga sosial bem km fmipa ugm. Bersama mereka aku tertawa, mengobati rinduku akan tawa ibuku. Bersama mereka kami berjuang, mengingatkanku akan perjuangan ayahku bekerja demi sekolahku.
Soal asmara. Pada awal – awal kisah di 2013 terukir indah nama Aridianti Nisa Karima di sana, gadis dengan senyuman manis. Kisah yang panjang, namun kisah itu harus berakhir, namanya mulai buram. Kami telah berbeda. Atau mungkin jarak yang tidak mengizinkan kami. UGM dan UI bukanlah jarak yang dekat. Atau mungkin kami sudah tidak memandangi langit yang sama. Kemudian datang sosok baru dalam hidupku, gadis petualang dengan semua angka 7 miliknya merebut hatiku.  Hubungan ini sangat singkat, tetapi memberi begitu banyak warna, juga memeras begitu banyak air mata. Sekali lagi kisah asmaraku kandas. Aku belum memaafkan dia. Mungkin cinta ini sudah luntur oleh asam nya benci. Semoga sebelum detik terakhir di tahun ini aku sudah bisa memaafkan dia.
Tidak banyak yang berubah dari diriku. Aku tidak membuat resolusi besar tahun lalu. Aku masih setia duduk di depan laptop lamaku, menonton film, menulis beberapa tulisan aneh, tulisan setengah jadi yang kemudian tidak pernah jadi. Aku masih pribadi yang introvert, memendam penuh perasaan. Aku juga masih berbinar – binar jika tengah bermain futsal. Mungkin perubahan paling terlihat adalah beberapa celana yang mulai menyempit, juga baju dan sepatu mulai mengecil. Hahahaha ...
Halaman baru itu pasti datang. Tidak peduli aku siap atau tidak, waktu akan terus berlalu. Aku justru mulai berandai – andai. Bagaimana bila tidak ada jarak? Bagaimana jika tujuh tidak pernah masuk dalam deret angka ku? Aku semakin takut menyongsong halaman baru itu. Bagaimana bila aku masih melanjutkan kisah lama. Terbesit dipikiranku aku tidak akan membuka halaman baru. Kemudian sesuatu dari dasar hatiku berbicara, terimalah. Terimalah bagaimanapun masa lalumu, dialah yang membawamu sampai sini. Terimalah dia menyakitimu saat ini, bukan nanti. Terimalah bahwa dia bukanlah yang dulu lagi.  
Aku memafkanmu, masalalu ku, cerita lama ku. Aku tidak ingin masalalu ku memberikan efek buram pada lukisan impianku yang penuh warna. Aku tidak ingin cerita lamaku masih saja menghiasi halaman baru kisah hidupku. Aku siap menongsong kanvas baru, aku siap menyongsong halaman baru. Aku siap 2014.!!!

9 November 2013

Tentang Lukisan


Sinar mentari mengintip dari balik gorden. Pandanganya lurus mengarah ke tubuh berbalut selimut lembut. Kicauan beberapa pipit kecil bersendau gurau berirama dengan tarian angin membentuk melodi pagi. Aroma coklat panas mengepul mengusik hidung, menganggkat badan mengajakku menari.  Udara perawan segera saja mengalir mengisi penuh paru – paru, berikatan dengan hemoglobin menyebar keseluruh tubuh. Yang membuatku segera sadar bahwa tengah terduduk gadis tercantik sembari melantunkan melodi kehidupan disebelahku. Rambutnya terurai, menari bersama angin yang sudah riang di suasana sepagi ini. Dia tersenyum manis melengkapi senyuman mentari di ufuk sana. Aku duduk. Tegukan pertama coklatku menyempurnakan sebuah lukisan tuhan yang tengah kunikmati di atas balkon kamarku. Kamar yang terletak ribuan meter dari permukaan laut. Ribuan meter dari raungan mesin – mesin kendaraan bermotor. Hanya suara beberapa pipit yang hendak mencari sarapan yang terdengar. Tentu saja petikan lembut dari sebuah gitar usang oleh gadis disebelahku, melodi yang membawa ke masa lalu.

Mentari baru saja melambaikan tangannya, meninggalkan kami dalam kegelapan. Hanya punggung besarnya yang masih terlihat, mulai samar, mengecil kemudian hilang. Kepergiannya membangunkan para angin malam, mereka menari - nari membalut tubuh kami, menusuk hingga ketulang, membawa aroma pegunungan kedalam hidung. Ratu malam mulai muncul, dengan kuku barunya yang baru dia cat biru. Selalu dengan tato yang sama, seekor kelinci merindukan ibunya. Di atas sana jutaan mata juga mulai berkedip pada kami, salah tingkah, atau cemburu akan kemesraan kami. Lengan kiriku melingkar melewati lehernya dan berakhir di lengan kirinya. Lengan kananku sibuk menggenggam tangan kirinya yang dia letakan di atas perutku. Kepalanya tenggelam dalam dadaku membawakan melodi yang menenangkan hati. Kaki – kakinya dia selipkan diantara kakiku, berusaha bersembunyi dari angin malam. Dari kejauhan tampak kunang – kunang menari indah bersama para angin. Burung hantu juga mulai melantunkan melodi kematian pada mangsanya. Sekali lagi tuhan menyuguhkan lukisan terindahNya pada kami.

KLOTAK. Kuasku terjatuh. Menyadarkanku dari mimpi. Mimpi yang  kulukiskan terlalu indah. Mimpi yang sempat aku bangun bersama gadis kecil yang menyukai petualangan. Yang kini tengah hanyut dalam petualanganya. Menikmati setiap pelayarannya, dimana setiap pendaratanyya terdapat banyak senyuman disana. Dia meninggalkanku, pemimpi usang. Aku mencoba menghapusnya dari lukisan itu. Tapi itu hanyalah sebuah kanvas dengan tumpahan cat hitam di seluruh bagiannya. Seharusnya bagian kecil tak akan terlalu berpengaruh dengan indahnya lukisan mimpiku. Tapi yang terjadi sebaliknya. Dialah mimpiku.
Sesuatu yang tak mungkin untuk dihapus dari kanvas itu.



Pelukis mimpi yang mungkin usang.

6 November 2013

Tentang Gagak dengan Sayap Patah




Sebuah rambut hitam panjang tersangkut tepat di mukaku. Melintas dari pelipis kiri melingkar melewati hidung dan berakhir di bawah dagu. Dia terbang di terbangkan angin dari kipas angin yang tidak pernah berhenti di ujung kiri kasurku.  Aku tengah tiduran, menekuk kaki di bawah selimut tebal dan kasar pemberian Ibuku. Menggenggam sebuah buku, hanya menggenggam. Tangan kananku justru memainkan tombol – tombol handphone tanpa tujuan jelas. Pikiranku malah tertuju pada hal lain, makanan yang mungkin bisa masuk kedalam tubuhku. Perutku melilit.
Sudah hampir seminggu aku sedikit bergerak, lemas. Beberapa ahli kesehatan yang sering disebut dokter mengatakan bahwa terjadi inveksi di pencernaanku, diare, maag, yang membuatku mual setiap saat. Nasi pindang yang biasanya sangat menggoda iman untuk menyantapnya hanya aku makan beberapa sendok. Sebenarnya tak dapat dipungkiri aku memiliki banyak cadangan energi di tubuhku, aku juga senoat berniat menguranginya. Tapi aku lebih memilih berbaring seharian. Sesekali membaca komik, sesekali melihat – lihat film lama yang tetap menyenangkan untuk dilihat.
Selama masa istirahatku. Ada sebuah kisah yang tidak di filmkan oleh Hollywood, tidak juga di Indonesia. Jadi ceritanya, tidak semua buah yang jatuh ke sungai akan hanyut. Bisa saja ia tenggelam dan tumbuh besar di sebelah pohon induknya. Jadi cerintanya ini tentang buah yang tumbuh menjadi pohon indah itu. Yang kemudian seekor gagak hinggap di pohon itu. Mereka bercengkrama. Pohon mulai bercerita bagaimana keluarganya. Gagak pun mulai menikmati keberadaanya dalam pohon itu. Dia menikmati kenyamanan yang membuatnya merasa cukup akan petualangannya.
Gagak lain datang, dengan bulu yang lebih berkilap, tampang yang lebih sangar dan berwibawa. Gagak pertama mulai terhapus dari memori pohon itu. Mulai menguap dengan sisa – sisa pembakaran fotosintesis. Sayap gagak pertama patah. Dia jatuh kedalam sungai. Tak bisa berenang. Tak bisa bernafas. Tak bisa bangkit. Pohon dan gagak kedua tetap tertawa dan bersenda – gurau menghabiskan setiap detik mereka bersama. Menikmati sunrise dan sunset bersamaan. Gagak pertama yang patah sayapnya hanya mengamati dari tepian, dia diselamatkan arus. Tetapi arus juga yang menjadi musuhnya. Kedinginan menusuk kedalam tulang – tulangnya. Bulunya rontok terbawa air. Gagak malang tak memiliki apapun lagi.
Dia mulai menyerah. Tapi naluri dalam dirinya mengatakan bahwa dia seorang gagak. Gagak itu berjuang melatih kembali sayapnya. Tertatih tapi pasti. Gagak itu melatih hatinya kembali. Melatih keberanian melihat langit luas, melihat luasnya dunia. Sampai pada suatu titik dia memutuskan kembali terbang. Dia tak ingin mengatakan apapun pada pohon itu, biarlah dia bahagia dengan gagak lain itu. Gagak itu memutuskan pergi, tempat indah di dunia ini bukan hanya pohon itu. Gagak itu memutuskan terbang kembali. Menguasai langit. Mengejar mimpinya.
Begitulah ceritanya. Tentang gagak yang pernah patah, tapi memilih menguasai langit kembali.



Sang Gagak, Yang pernah patah.
.

4 Juli 2013

Tiga Hari Absurd Dalam Tulisan Absurd


“KRIIIIING......!!!!”  hampir 3 hari ini setiap jam 7 aku selalu dibuat jengkel alarm. Bukan hanya sebuah, namun 3, 3 alarm! Semua alarm itu juga ku letakkan jauh dari jangkauan, mau tak mau untuk membungkamnya aku harus bangun terlebih dahulu.  Bukan tanpa alasan aku sengaja meletakkan  monster - monster itu di kamarku setiap menjelang tidur. Iya kalau bukan karena alarm itu memainkan peran “antagonis” di pagi hariku, mungkin aku sudah kehilangan banyak pelajaran hebat di pelatihan kepemanduan.

Iya akhir – akhir ini aku sibuk di kepelatihan pemandu, yah intinya sih pelatihan buat menyambut mahasiswa baru nanti. Yah pada faktanya hampir semua materi sudah pernah didapat di training semasa sma dulu. Tapi ada yang sedikit berkesan, ini pertama kalinya ada yang mengenal sekolah ku di UGM. Ketika trainer bertanya tentang alumni sma mana, aku jawab SMART Ekselensia Indonesia. Lalu apa kata dia? “Waaaaah..., saya tau itu,”. Bukan cuma kaget tapi juga takjub, yah meski makna dua kata tadi hampir sama. Coba bayangkan saja aku adalah lulusan ke 4 dari sekolahku, yang bisa dibilang sekolahku adalah sekolah berumur jagung, masih kalah jauh sama sekolah “keren” di kota kota yang UMUR nya sudah hampir 50 tahun lebih. Bahkan ketika pendaftaran UGM aku sedikit kecewa sama ugm, SMA ku tak tercantum dalam database UGM. Sampai sekarang setiap melihat portal akademik yang tertulis di sana adalah SMTA Lain-Lain. Jadi akhirnya waktu itu aku paham kenapa bahkan berkas snmptn undanganku nggak akan dibaca. Sebenarnya aku cukup iri sama anak – anak dari sma “keren” apalagi yang di Jogja, yang bisa “pindah kelas” ke UGM. Tapi kalau ujian tertulis memanglah, tak dapat berbohong kemampuan itu. Sudahlah cerita sedikit tentang sekolah kebanggaanku. Jadi selidik punya selidik trainer tadi adalah salah seorang donatur sekolah, aku jadi makin kagum sama dia.

Yah tapi sebenarnya yang lebih menginspirasi adalah sebuah video tentang iklan asuransi buatan thailand yang diputar dalam training itu. Video tentang seorang wanita yang di vonis menderita kanker dan hidupnya hanya tinggal 2 tahun lagi. Pertanyaanya adalah apa yang akan kita lakukan jika kita yang mengalami hal itu? Berfoya – foya menikmati sisa hidup atau justru depresi? Aku lupa nama nama tokoh dalam video itu, tapi aku ingat dia berusaha membesarkan 3 anak yang semuanya memiliki kekurangan masing masing. Yang dia lakukan adalah memberikan sebuah “arti” dari hidup 3 anak yang dia besarkan.



“ A worthy life is a life that could give another life a means,”


Mungkin itulah kata – kata yang sangat memberikanku sebuah motivasi. Yah kalau penulisannya salah itu 100% kesalahan ku yang tidak bisa bahasa inggris. Jadi dari training inilah aku menemukan LTO ku, menemukan orientasi jangka panjangku. Mencoba memberi makna hidup orang lain, jangan tertawa! Iya memang bahkan hidupku pun belum bermakna. Tapi bagaimana kalau memang makna dari hidupku adalah untuk memberikan makna bagi hidup orang lain? Yasudahlah, bahkan baut paling berkarat dari sebuah mesin tetaplah memberikan makna bagi mesin itu. Biarlah aku baut berkarat bagi Indonesia, aku akan berusaha memberi makna hingga saatnya baut lain memberikan makna yang lebih baik. 


27 Mei 2013

Ketika si Petualang Merindukan Petualang Lainnya (edit).



     Jogja tengah menangis, seolah-olah dia bisa membaca isi hatiku. Matahari sudah sejak tadi pundung dan pulang ke peraduanya. Sedangkan si rembulan justru bangun kesiangan, sehingga belum muncul hingga saat ini. Kosong. Jogja benar - benar terasa kosong. Aku sendiri malas untuk bergerak, menyimpan kalori, atau memang aku malas. Jogja tak semenarik biasanya. Setiap tempat yang aku kunjungi selalu memberikan sebuah efek "ngenes" dan sebuah pementasan buram, layaknya film jadul tapi aku yang ada di dalamnya, bersama seorang gadis.

     Iya, gadis itu pergi meninggalkan Jogja Jumat kemarin. Dia bilang dia bukan "pulang" ke Pekanbaru, tapi "pergi" ke Pekanbaru, karena dia beranggapan Jogja adalah rumahnya. Ya, gadis mungil itu sejak kecil sudah bermimpi untuk bisa ke Jogja, dia bahkan selalu bercerita tentang betapa spesialnya Jogja bagi dia, bahkan aku yang sudah hampir 1 tahun di Jogja justru banyak bertanya tentang Jogja padanya. Sebenarnya aku cemburu, cemburu pada Jogja. Gadis yang dari kecil sampai sekarang sangat suka tempe ini bahkan bilang Malioboro adalah jalan yang wajib dilewati setiap hari.

     Aku tidaklah asal tulis tentang dia. Dia adalah "musuh" masa kecilku. Iya, dia adalah musuhku di taman kanak-kanak hingga SD. Tiada hari tanpa percekcokan bagi kami, aku biang ribut di kelas, sedangkan dia si pencatat yang ribut di kelas. Dia adalah murid kebanggaan dan kepercayaan para guru, aku? ya, aku adalah murid yang selalu bisa membuat para guru naik darah. Dia gadis yang cerdas, jago Bahasa Inggris, jago menulis, dia bisa di banyak hal waktu itu. Dia adalah primadona sekolah.

     Waktu berjalan dengan sendirinya. Dia tumbuh menjadi gadis yang penakut. Dia mengarungi waktu dengan ketakutan akan masa lalu. Dia tak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Kalau ibarat buah yang jatuh dari pohonnya, dia secara kebetulan jatuh di sungai yang salah, sungai deras yang membawanya ketempat - tempat yang menakutkan, tapi dia bukannya menjadi berani dia justru semakin terbebani dengan masa lalunya itu. Dia takut untuk melawan arus sungai itu. Seorang trainer pernah berkata padaku bahwa jika ingin sukses kita harus melepaskan semua beban dimasa lalu, sehingga kita bisa dengan mudah terbang menggapai mimpi kita.

     Akan tetapi apa yang si petualang penakut itu lakukan padaku? Dia menanamkan keberanian dalam diriku. Dia mampu membuatku berani mengarungi jalan-jalan yang belum pernah kulewati seblumnya. Dia mengajakku hanyut dalam sungainya. Aku menikmati setiap pelayaranku dengannya, mengunjungi tempat-tempat baru dalam hidupku, bertemu wajah-wajah baru yang luar biasa. Dia (pernah) menjadikanku sempurna. Pada akhirnya aku tahu bahwa Jogja akan tetap menjadi tempat yang spesial baginya, tapi Jogja bukanlah tempat yang spesial tanpanya. Jadi untuknya aku berkata, terimakasih membuat Jogja terasa spesial.


Yang pernah selalu menunggumu di Jogja.

8 Mei 2013

Konspirasi Dibalik Buku, Cokelat, dan Gelas.



Sebenarnya kalau dibilang pengangguran juga tidak tepat karena aku punya banyak tugas dan pekerjaan, tetapi memang ya aku saja yang membawanya dengan santai. Karena menurut orang yang aku kagumi, kita akan mampu berbuat maksimal saat apa yang kita lakukan kita sukai. Betul kan? Yah setiap pribadi pasti punya sebuah ideologi masing–masing. Malam ini pun sebenarnya aku masih punya tanggungan sebuah laporan, tapi aku lebih memilih main Criminal Case ditemani segelas kopi di dalam gelas baru.

Iya, gelas bergambar 2 buah ikan yang aku sendiri tak dapat membedakan jenis kelamin mereka, tapi aku tau bahwa mereka adalah simbol dari 12 zodiak yang ada, Pisces. Gelas itu adalah hadiah ulang tahunku yang ke 18 dari keluargaku di Departemen Sosial BEM KM FMIPA UGM. Sebuah keluarga kecil tempatku berbagi tawa. Sebenarnya sudah hampir lewat 3 bulan dari hari ulang tahunku, tapi mereka masih saja ingat dan merayakannya, bisa dibilang ini adalah tiup lilin pertama dalam hidupku. Hahaha.

Sebenarnya aku menerima 3 buah kado di tahun ini, sebuah buku, coklat dan gelas. Betapa sebuah kolaborasi yang indah, bukan? Aku bukan detektif yang terlalu banyak bertanya, tapi aku sedikit curiga pada Tuhan dengan kado–kado ini. Memang kalau ditelisik lebih dalam kado ini berhubungan. Tuhan memintaku membaca buku penuh motivasi itu sambil sesekali memakan coklat dan meminum sesuatu dari gelas itu. Ahahaha benar–benar indah bukan rencana Tuhan? Mungkin aku benar–benar akan menikmatinya jika kado itu datang bersamaan. Tapi kenyataannya buku datang di bulan Maret, coklat di bulan April, dan gelas di bulan Mei. Hahaha semoga memang sebuah rencana besar yang bahagia tengah Tuhan bangun untukku.

Tidak perlu lagi memikirkan konspirasi buku-coklat-gelas. Aku hanya ingin berterimakasih pada semua elemen yang telah berperan dalam drama kehidupanku. Peran baik ataupun buruk tetaplah memberikanku sebuah pelajaran. Tapi khusus di hari yang sudah lewat lama dari hari ulang tahunku ini aku ingin berterimakasih pada yang telah mendoakan dan memberiku kado–kado indah, Cinnamon, Hani, dan teman teman sosial. Semoga kebahagiaan selalu menaungi kita semua. Mungkin di lain waktu aku yang akan membahagiakan kalian. Yah tentu saja aku tak akan bisa menjabat tanganku sendiri ketika berjalan di taman bunga yang luas. Aku perlu tangan lain yang lebih feminim, aku masih berharap dan menantinya.  

                                                                                                                     Yogya, 7 Mei 2013

30 April 2013

Homeless to Harvard, an inspired movie.




Yah seperti biasa aku hanyalah orang yang kelebihan waktu. Malam ini pun begitu. Aku menonton sebuah film yang really gave me a punch in my face.
Homeless to Harvard
itulah judul film yang aku tonton malam ini, not sure it's night or early morning. But you know? I'm cried while watching it. Film ini tentang seorang anak yang orang tuanya adalah pengidap AIDS, pecandu, pemabuk dan tinggal di sebuah apartemen buruk. Namanya Liz. Ellizabeth. Nama seorang ratu, yang tak beruntung untuk dilahirkan dari keluarga seperti mereka. Tapi dia tetap mencintai ibunya, dia mengurus ibunya, memandikannya, ketika ibunya pulang dari bar dan mabuk dia yang mengurusnya. Semua dia lakukan hingga suatu saat ibunya meninggal. She hasn't nothing anymore.
Semenjak kepergian orang tuanya dia pergi dari rumah, kakeknya tidak menyukainya, dia tidur di stasiun, makan dari tempat sampah. Semua dilakukanya untuk bertahan hidup. Yah pada akhirnya dia memutuskan untuk sekolah, menempuh high school yang seharusnya 4 tahun menjadi 2 tahun saja. Dan berkat kerja kerasnya dia bisa kuliah di Harvard dengan beasiswa dari New York Times.
Kemudian aku sedikit berfikir, apakah setiap orang harus sukses dalam keadaan yang sama? Apakah setiap cowok harus menjadi insinyur dan setiap wanita harus menjadi dokter? Apakah sukses itu ketika memiliki mobil, apartemen, dan uang melimpah? Itu tidak adil. Anak yang terlahir dari orang tua kaya sudah dapat dikatakan sukses dong? With no work. Sedangkan anak yang terlahir dari orang tua kurang berada? Kalau dijalan yang benar mungkin mereka akan bisa meraih itu, kalau di jalan yang salah? Mereka cuma akan menjadi mayat yang tak di kenal di kolong jembatan.
Bukan karena apa aku menyukai film ini, layaknya aku suka film 3idiots, ini karena ada kemiripan cerita di dalamnya. Yah usaha kami sedikit sama. Liz, Rancho, dan aku memang harus berjuang sedikit lebih banyak dari yang lainya.
Ini bukanlah sebuah keluhan, bukan pula sesuatu yang menarik. Aku hanya ingin berbagi. Aku tau bahwa hasil lah yang diperlukan. Tapi cobalah melihat sebuah proses. Tak ada salahnya untuk mengamati sejenak, bukan? Aku yakin Tuhan juga menilai sesuatu dari usahanya, seberapa beratkah ujian yang didapat selama dia melakukan sesuatu. Lagipula sukses itu tidak jauh, dekat sekali. Sukses itu ada di telinga, kamu hanya perlu cermin untuk dapat menyadarinya.

@dowiliare

14 April 2013

Untung Oksigen Masih Gratis



Bulan Maret belumlah berlalu, tapi sudah banyak sekali kesan menyenangkan dalam tanda kutip di dalamnya. Baru saja aku selesai menelpon ibuku, meminjam HP teman. Yah sudah hampir sebulan HPku rusak. Kangen? Ya kalau dibilang kangen mungkin ini sudah yang stadium akhir. Ingatanku akan wajah orang tuaku bahkan sudah mulai kabur. Sudah sebanyak apa uban di kepala ayah dan ibuku. Sudah sebanyak apa garis–garis keriput di wajah mereka. Seberapa kurus ayah dan ibuku sekarang. Aku tak mampu membayangkan itu. Terakhir kali aku dapat mengecup tangan mereka adalah januari tahun 2012. waktu itu aku masih SMA.
Aku tak mau bilang ini bulan buruk karena masih ada kebahagiaan di dalamnya, walau setetes. Semua berawal ketika ada permasalahan di pemerintah pusat. Aku tak paham apa yang terjadi di sana. Aku hanya merasakan akibatnya, uang beasiswa turun telat. Untuk aku yang hidupnya hanya bergantung dari uang tersebut ya bisa dibilang kalang kabut. Uang di saku sudah sangat sangat tipis. Mungkin makan mewahku harus dikurangi, besok besok tidak perlu pakai tempe lagi, cukup sayur. Es teh juga sepertinya tidak usah, cukup air bening.
Ada satu hari yang sangat sangat aku ingat. Siang itu dengan riangnya aku meninggalkan kampus  MIPA selatan (milan) setelah kuliah usai. Dan demi apa tiba tiba motorku oleng, melirik ke ban belakang dia terlihat cukup menderita mengangkat beban tubuhku. Angin dengan senyum lebar meninggalkan ban belakangku. Dengan terpaksa kali ini aku yang harus berkeringat. Singkat cerita bannya sudah tidak bisa ditambal. Aku juga sulit percaya, bahwa ban karet seperti itu bisa terpotong. Dan parahnya lagi uang terakhir yang aku miliki adalah 15ribu, sedangkan biaya ganti ban adalah 36ribu.
Aku cuma bisa terduduk lesu di sebelah tempat tambal ban, di pertigaan selokan mataram. Uang   tidak punya, HP juga tidak ada. Kalau mau tambal ban, makannya pakai apa? Kalau makan, motornya didorong?
Aku juga tidak yakin kalaupun Maret berlalu aku bakal punya duit, untung oksigen masih gratis.

20 Maret 2013

Cerita Bersambung: Untitled

-->
“Indah, kan?” celetuknya tanpa mengalihkan pandanganya dari langit selatan Jogja, tetap asik sendiri dengan sesekali menyedot susu kotak yang aku berikan. Aku tak sempat menjawab, hanya memberikan sebuah anggukan lemah tanda setuju. Di sekelilingku memang hanyalah tanah tandus kering kerontang yang banyak batu bersebaran dimana–mana. Beberapa daun Jati yang kering juga menghiasi tanah bergerak kesana kemari berjalan bersama angin, semakin menggambarkan betapa tandusnya daerah ini. Aku terduduk di tepi aspal, bertopang dagu pada sebuah pembatas jalan di tikungan tajam jalan antara Imogiri dan Panggang. Sebuah pembatas jalan yang terlihat sudah sangat berpengalaman dengan kerasnya hidup. Sudah compang camping disana–sini. Bisa saja memang karena usianya ataupun banyak sekali pengendara yang teledor dan menabrakkan motonya kesitu, tak terkecuali aku tentunya. Lupakan sejenak keteledoranku tadi. Ini adalah pertama kalinya aku terduduk disini, mengamati Wonosari dari ketinggian. Lampu–lampu perumahan seakan akan berkolaborasi menimbulkan kerlip kerlip indah seakan–akan tengah bercerita tentang sesuatu. Sebuah background yang luar biasa dalam pementasan itu, mega oren keemasan seakan – akan memberikan dorongan untuk terus meraih sebuah kemenangan. Angin sore itu juga berhembus lumayan kuat. Menerbangkan beberapa daun Jati, menggantikan tugas seseorang untuk menyapu tepi jalanan itu, menerbangan dedebuan yang kemudian menerpa wajahku.
“Bagian mana yang paling kamu suka?” tanyanya lagi dan menyadarkanku dari lamunan panjangku. “Kalau aku gedung tinggi yang lampunya meriah itu, kata teman–temanku itu tempat main futsal, hemm.. Kapan ya aku bisa main disana?” sambungnya lagi yang menggambarkan betapa periangnya anak ini.
“Kalau aku,” mencoba berfikir sejenak, menunggu rangsangan dari mataku yang disalurkan oleh neuron untuk sampai ke otak dan disalurkan kembali ke mulut. Kembali mengamati sekeliling, mencari–cari bagian yang memang aku sukai. “Aku suka tempat ini, suasana dan pemandangannya bagus” jawabku setelah proses yang cukup lama. Aku tak begitu tertarik dengan tumpukan semen dan besi di tengah Wonosari itu, hampir setiap hari aku beraktifitas disana soalnya. Memeras tenaga dan keringat.
“Eh tadi aku liat kamu main bolanya jago, biasa main dimana emangnya?” aku mencoba mengambil inisiatif pembicaraan.
“Ahh... Nggak juga” jawabnya sembari mengalihkan pandangan, menyembunyikan malu dariku “Biasanya aku main di depan rumahku itu” dengan bangganya dia menunjukan sebidang tanah kosong di depan rumahnya.
“Kalau mau besok kamu main ke gedung kesukaanmu itu aja, kita main futsal bareng” kataku dengan masih tetap asik memandang ke kejauhan.
“Eh… Tapi kan mahal kalau main di…”
“Udah besok pokoknya dateng aja ya, jam 3 sore” aku memotong omonganya “Eh… Itu ayahku udah datang, bantuin aku naikin motor ini ke mobil ya” sambungku lagi.
Inikah yang namanya takdir? Baru saja tadi sore aku berniat kabur dari rumah. Mencoba melarikan diri dari semua tekanan yang aku hadapi. Aku tak sempat berfikir panjang. Aku tarik gas sekencang–kencangnya menuju selatan. Terus, terus dan terus. Tak terasa kumpulan air yang sedari tadi kutahan dalam mata menetes keluar. Aku terbayang lagi ketika tadi untuk kesekian kalinya ayahku menampar ibuku. Untuk sesaat sebuah rekaman ulang kejadian tadi seakan akan diputar kembali di depan mataku. Hatiku semakin marah. Aku sudah tidak sadar kemana tujuan motor ini. Dan ketika aku tersadar aku sudah terbaring di tanah tandus berbatu dan di depanku ada seseorang yang seumuran denganku tengah menjugling bola. Sesekali dia melakukan gerakan samba. Kegembiraan tergambar sekali diwajahnya, seakan akan dia tengah bercanda dengan bola bututnya itu.
Bersambung...


Best gift in 18th



Sudut matanya sempit, menggambarkan dengan jelas bahwa dia memiliki darah Asia. Kulitnya jernih layaknya orang–orang cina lainya. Wajahnya cantik, cantik yang menentramkan hati. Dia juga sudah sangat dewasa dalam usianya. Ini bukanlah kisah asmaraku. Ini adalah tentang gadis mungil yang kutemui di kelas Kemipaan-10, gadis manis yang semanis kayu manis.
Tak banyak yang kuketahui dari dirinya. Aku ada di barisan belakang bangku kuliah, sedangkan dia ada di baris depan bangku kuliah. Dia rajin mencatat, dan aku malas mencatat. Wajar kalau dia kebanjiran nilai A dan aku kebanjiran nilai B atau malah C. Dia adalah orang yang paling sabar se-MIPA, hehe. Aku tidak tau harus mengungkapkannya bagaimana. Tapi dia adalah korban kejahilanku. Mau di dunia nyata ataupun di dunia maya aku selalu saja menggodanya. Alasan? Terkadang tak perlu alasan untuk melakukan sesuatu, bukan?
Awal pertemuanku denganya bukanlah pertemuan yang spesial layaknya pertemuan pertama antara Hawa dan Adam. Aku yang waktu itu memang sok kenal langsung cap cis cus mengajak ngobrol dia. Meski ketika aku meminta nomor HPnya tidak diberi >.< tapi itu bukanlah masalah. Lama kelamaan kita semakin dekat, dan aku pun kadang–kadang semakin jahil, dan dia pun sepertinya sudah semakin sabar. Kadang–kadang kita juga berbagi sedikit cerita soal nilai, keluarga, teman, bahkan asmara.
Apa yang membuat si Pemalas seperti aku mau membuang banyak kalori untuk menggerakan jari–jari, merangkai huruf–huruf agar sedikit memiliki makna, hanya demi menggambarkan sosok dirinya?
9 Summers 10 Autumns: Dari kota Apel ke The Big Apple.
Adalah kado ulang tahunku yang ke-18 darinya. Jujur selama hidupku jumlah kado yang aku terima masihlah dapat dihitung dengan jari. Merayakan ulang tahun? Jangankan untuk beli kue tar, beli beras buat besok saja harus mikir dulu. Ya, hidupku tak semewah kebanyakan orang. Hidupku sederhana tapi penuh warna. Aku tau rasanya lapar, aku tau rasanya kenyang. Aku tau rasanya lelah bekerja, aku tau rasanya nikmat tidur setelah bekerja.
Aku tak pernah berharap mendapat kado mewah, aku paham betul siapa diriku. Tapi apa yang dia berikan padaku? Sebuah buku penuh inspirasi pembangkit motivasi. Dia berdalih agar aku punya semangat untuk meraih mimpiku. Tapi sekali lagi aku paham siapa diriku, manusia biasa bertabur dosa. Tapi sekali lagi, tahukah kalian apa yang TUHAN berikan padaku? Ya, tuhan memberiku seorang teman, tuhan memberiku kado terbaik di usia 18 tahunku, si Kayu Manis.
Yogyakarta,
Di tanggal yang sudah lewat dari hari ulang tahunku.

29 Januari 2013

Tatapan Sendu Pada sang Bulan

  Aku yakin bukan sebuah kebetulan bulan di malam ini terlihat indah, bukan seuah kebetulan pula aku tengah berada di Gunung Kidul, sebuah dusun terpencil di bagian selatan Jogja. Sebuah dusun yang sangat gersang, banyak daun Jati yang menghiasi bebatuan kapur tempatku berpijak. Aku yakin ini adalah sebuah takdir yang tuhan tunjukan padaku.

  Bulan ini mengingatkanku pada tanggal itu, 19 Februari, aku agak buram soal tanggal, tapi itulah yang tergambar di ingatanku, 19 Februari 2012. Sebuah takdir pula lah yang membawaku ke puncak Bogor, dalam sebuah villa bersama sekitar 36 bulu bulu sayap sek4wan. Semua terekam dengan jelas. Peristiwa-peristiwa di tempat inilah yang merubahku secara keseluruhan. Tak perlu kuceritakan bagaimana diriku, bagaimana perubahan yang kualami. Belum saatnya pula aku bercerita tentang perjalananku di asrama. yang harus kalian tau bahwa di tempat ini aku berubah. Saat itu aku menangis tanpa paksaan, menangis dari hati, memaafkan dari hati, menerima dari hati, ya aku menerima pelukan 36 teman-teman sek4wan. Aku tak tau seperti apa bentuk wajahku saat itu, hujan yang sudah ku usahakan untuk tidak keluar justru pada akhirnya menjadi hujan deras dari mataku. Hujan yang memicu hujan-hujan lain, hujan dari temanku, teman yang merasakan apa yang kurasakan. Aku tak peduli bila ada yang menertawakan kami saat itu, itu adalah saat kami melepaskan semua beban, itu adalah saat kami memaafkan masa lalu kami, itu adalah saat kami berbagi sugesti untuk meraih cita-cita. Setiap orang yang meneriakkan cita-citanya maka akan kami teriakan YES dengan lantang, memberikan sebuah keberanian untuk terus bermimpi. Semustahil apapun mimpi itu.

  Saat itu pulalah aku meneriakkan mimpiku, aku ingin mengunjungi luar angkasa. sebanyak 35 orang berteriak YES. Dan aku tau saat itu bahwa aku bisa melakukannya. Tanpa ragu aku memasang foto-foto luar angkasa dalam "dream book" milikku. Teman-temanku juga membuat sebuah dream book masing-masing. Menempel gambar mimpi-mimpi mereka. Kami sangat percaya bahwa kami bisa meraih mimpi-mimpi itu. Aku masih ingat di lembar pertamaku adalah mimpiku untuk kuliah di UNITEN Malaysia. Yang pada akhirnya tidak tercapai. Dan di lembar-lembar selanjutnya banyak terdapat gambar keindahan luar angkasa, bulan, Saturnus, Uranus, pesawat ulang alik, dan banyak lagi. Saat itu aku dengan bangga memegang dream book itu.

  Lalu kini aku berusia 17 tahun 11 bulan, hampir tepat satu tahun sejak aku membuat dream book itu, dan dalam selama waktu itu pulalah keyakinanku akan mimpiku mulai terkikis. Keyakinanku akan mimpi-mimpiku mulai rontok satu persatu. Tidak ada lagi 35 orang yang merangkulku untuk meneriakan YES untuk setiap mimpiku. Kini aku hanyalah laki-laki yang kehilangan arah. Laki-laki yang tak tau bagaimana cara meraih mimpinya, laki-laki yang hanya mampu menatap bulan dengan sendu.

Gunung Kidul, 28 Januari 2013.