“Indah, kan?” celetuknya tanpa mengalihkan pandanganya dari langit
selatan Jogja, tetap asik sendiri dengan sesekali menyedot susu kotak
yang aku berikan. Aku tak sempat menjawab, hanya memberikan sebuah
anggukan lemah tanda setuju. Di sekelilingku memang hanyalah tanah
tandus kering kerontang yang banyak batu bersebaran dimana–mana.
Beberapa daun Jati yang kering juga menghiasi tanah bergerak kesana
kemari berjalan bersama angin, semakin menggambarkan betapa tandusnya
daerah ini. Aku terduduk di tepi aspal, bertopang dagu pada sebuah
pembatas jalan di tikungan tajam jalan antara Imogiri dan Panggang.
Sebuah pembatas jalan yang terlihat sudah sangat berpengalaman dengan
kerasnya hidup. Sudah compang camping disana–sini. Bisa saja
memang karena usianya ataupun banyak sekali pengendara yang teledor
dan menabrakkan motonya kesitu, tak terkecuali aku tentunya. Lupakan
sejenak keteledoranku tadi. Ini adalah pertama kalinya aku terduduk
disini, mengamati Wonosari dari ketinggian. Lampu–lampu perumahan
seakan akan berkolaborasi menimbulkan kerlip kerlip indah seakan–akan tengah bercerita tentang sesuatu. Sebuah background yang luar
biasa dalam pementasan itu, mega oren keemasan seakan – akan
memberikan dorongan untuk terus meraih sebuah kemenangan. Angin sore
itu juga berhembus lumayan kuat. Menerbangkan beberapa daun Jati,
menggantikan tugas seseorang untuk menyapu tepi jalanan itu,
menerbangan dedebuan yang kemudian menerpa wajahku.
“Bagian mana yang paling kamu suka?” tanyanya lagi dan menyadarkanku dari lamunan panjangku. “Kalau aku gedung tinggi yang
lampunya meriah itu, kata teman–temanku itu tempat main futsal,
hemm.. Kapan ya aku bisa main disana?” sambungnya lagi yang
menggambarkan betapa periangnya anak ini.
“Kalau aku,” mencoba berfikir sejenak, menunggu rangsangan dari
mataku yang disalurkan oleh neuron untuk sampai ke otak dan disalurkan kembali ke mulut. Kembali mengamati sekeliling, mencari–cari bagian yang memang aku sukai. “Aku suka tempat ini, suasana dan pemandangannya bagus” jawabku setelah proses yang cukup lama.
Aku tak begitu tertarik dengan tumpukan semen dan besi di tengah Wonosari itu, hampir setiap hari aku beraktifitas disana soalnya.
Memeras tenaga dan keringat.
“Eh tadi aku liat kamu main bolanya jago, biasa main dimana
emangnya?” aku mencoba mengambil inisiatif pembicaraan.
“Ahh... Nggak juga” jawabnya sembari mengalihkan pandangan,
menyembunyikan malu dariku “Biasanya aku main di depan rumahku
itu” dengan bangganya dia menunjukan sebidang tanah kosong di
depan rumahnya.
“Kalau mau besok kamu main ke gedung kesukaanmu itu aja, kita main
futsal bareng” kataku dengan masih tetap asik memandang ke
kejauhan.
“Eh… Tapi kan mahal kalau main di…”
“Udah besok pokoknya dateng aja ya, jam 3 sore” aku memotong
omonganya “Eh… Itu ayahku udah datang, bantuin aku naikin motor
ini ke mobil ya” sambungku lagi.
Inikah yang namanya takdir? Baru saja tadi sore aku berniat kabur
dari rumah. Mencoba melarikan diri dari semua tekanan yang aku
hadapi. Aku tak sempat berfikir panjang. Aku tarik gas sekencang–kencangnya menuju selatan. Terus, terus dan terus. Tak terasa
kumpulan air yang sedari tadi kutahan dalam mata menetes keluar. Aku
terbayang lagi ketika tadi untuk kesekian kalinya ayahku menampar
ibuku. Untuk sesaat sebuah rekaman ulang kejadian tadi seakan akan diputar kembali di depan mataku. Hatiku semakin marah. Aku sudah tidak
sadar kemana tujuan motor ini. Dan ketika aku tersadar aku sudah
terbaring di tanah tandus berbatu dan di depanku ada seseorang yang
seumuran denganku tengah menjugling bola. Sesekali dia melakukan
gerakan samba. Kegembiraan tergambar sekali diwajahnya, seakan akan
dia tengah bercanda dengan bola bututnya itu.
Bersambung...