9 November 2013

Tentang Lukisan


Sinar mentari mengintip dari balik gorden. Pandanganya lurus mengarah ke tubuh berbalut selimut lembut. Kicauan beberapa pipit kecil bersendau gurau berirama dengan tarian angin membentuk melodi pagi. Aroma coklat panas mengepul mengusik hidung, menganggkat badan mengajakku menari.  Udara perawan segera saja mengalir mengisi penuh paru – paru, berikatan dengan hemoglobin menyebar keseluruh tubuh. Yang membuatku segera sadar bahwa tengah terduduk gadis tercantik sembari melantunkan melodi kehidupan disebelahku. Rambutnya terurai, menari bersama angin yang sudah riang di suasana sepagi ini. Dia tersenyum manis melengkapi senyuman mentari di ufuk sana. Aku duduk. Tegukan pertama coklatku menyempurnakan sebuah lukisan tuhan yang tengah kunikmati di atas balkon kamarku. Kamar yang terletak ribuan meter dari permukaan laut. Ribuan meter dari raungan mesin – mesin kendaraan bermotor. Hanya suara beberapa pipit yang hendak mencari sarapan yang terdengar. Tentu saja petikan lembut dari sebuah gitar usang oleh gadis disebelahku, melodi yang membawa ke masa lalu.

Mentari baru saja melambaikan tangannya, meninggalkan kami dalam kegelapan. Hanya punggung besarnya yang masih terlihat, mulai samar, mengecil kemudian hilang. Kepergiannya membangunkan para angin malam, mereka menari - nari membalut tubuh kami, menusuk hingga ketulang, membawa aroma pegunungan kedalam hidung. Ratu malam mulai muncul, dengan kuku barunya yang baru dia cat biru. Selalu dengan tato yang sama, seekor kelinci merindukan ibunya. Di atas sana jutaan mata juga mulai berkedip pada kami, salah tingkah, atau cemburu akan kemesraan kami. Lengan kiriku melingkar melewati lehernya dan berakhir di lengan kirinya. Lengan kananku sibuk menggenggam tangan kirinya yang dia letakan di atas perutku. Kepalanya tenggelam dalam dadaku membawakan melodi yang menenangkan hati. Kaki – kakinya dia selipkan diantara kakiku, berusaha bersembunyi dari angin malam. Dari kejauhan tampak kunang – kunang menari indah bersama para angin. Burung hantu juga mulai melantunkan melodi kematian pada mangsanya. Sekali lagi tuhan menyuguhkan lukisan terindahNya pada kami.

KLOTAK. Kuasku terjatuh. Menyadarkanku dari mimpi. Mimpi yang  kulukiskan terlalu indah. Mimpi yang sempat aku bangun bersama gadis kecil yang menyukai petualangan. Yang kini tengah hanyut dalam petualanganya. Menikmati setiap pelayarannya, dimana setiap pendaratanyya terdapat banyak senyuman disana. Dia meninggalkanku, pemimpi usang. Aku mencoba menghapusnya dari lukisan itu. Tapi itu hanyalah sebuah kanvas dengan tumpahan cat hitam di seluruh bagiannya. Seharusnya bagian kecil tak akan terlalu berpengaruh dengan indahnya lukisan mimpiku. Tapi yang terjadi sebaliknya. Dialah mimpiku.
Sesuatu yang tak mungkin untuk dihapus dari kanvas itu.



Pelukis mimpi yang mungkin usang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik meninggalkan jejak. :)