Sebuah rambut
hitam panjang tersangkut tepat di mukaku. Melintas dari pelipis kiri melingkar
melewati hidung dan berakhir di bawah dagu. Dia terbang di terbangkan angin
dari kipas angin yang tidak pernah berhenti di ujung kiri kasurku. Aku tengah tiduran, menekuk kaki di bawah
selimut tebal dan kasar pemberian Ibuku. Menggenggam sebuah buku, hanya
menggenggam. Tangan kananku justru memainkan tombol – tombol handphone tanpa
tujuan jelas. Pikiranku malah tertuju pada hal lain, makanan yang mungkin bisa
masuk kedalam tubuhku. Perutku melilit.
Sudah hampir
seminggu aku sedikit bergerak, lemas. Beberapa ahli kesehatan yang sering
disebut dokter mengatakan bahwa terjadi inveksi di pencernaanku, diare, maag,
yang membuatku mual setiap saat. Nasi pindang yang biasanya sangat menggoda
iman untuk menyantapnya hanya aku makan beberapa sendok. Sebenarnya tak dapat
dipungkiri aku memiliki banyak cadangan energi di tubuhku, aku juga senoat
berniat menguranginya. Tapi aku lebih memilih berbaring seharian. Sesekali membaca
komik, sesekali melihat – lihat film lama yang tetap menyenangkan untuk
dilihat.
Selama masa
istirahatku. Ada sebuah kisah yang tidak di filmkan oleh Hollywood, tidak juga
di Indonesia. Jadi ceritanya, tidak semua buah yang jatuh ke sungai akan
hanyut. Bisa saja ia tenggelam dan tumbuh besar di sebelah pohon induknya. Jadi
cerintanya ini tentang buah yang tumbuh menjadi pohon indah itu. Yang kemudian seekor
gagak hinggap di pohon itu. Mereka bercengkrama. Pohon mulai bercerita
bagaimana keluarganya. Gagak pun mulai menikmati keberadaanya dalam pohon itu. Dia
menikmati kenyamanan yang membuatnya merasa cukup akan petualangannya.
Gagak lain
datang, dengan bulu yang lebih berkilap, tampang yang lebih sangar dan
berwibawa. Gagak pertama mulai terhapus dari memori pohon itu. Mulai menguap
dengan sisa – sisa pembakaran fotosintesis. Sayap gagak pertama patah. Dia jatuh
kedalam sungai. Tak bisa berenang. Tak bisa bernafas. Tak bisa bangkit. Pohon dan
gagak kedua tetap tertawa dan bersenda – gurau menghabiskan setiap detik mereka
bersama. Menikmati sunrise dan sunset bersamaan. Gagak pertama yang patah
sayapnya hanya mengamati dari tepian, dia diselamatkan arus. Tetapi arus juga
yang menjadi musuhnya. Kedinginan menusuk kedalam tulang – tulangnya. Bulunya rontok
terbawa air. Gagak malang tak memiliki apapun lagi.
Dia mulai
menyerah. Tapi naluri dalam dirinya mengatakan bahwa dia seorang gagak. Gagak itu
berjuang melatih kembali sayapnya. Tertatih tapi pasti. Gagak itu melatih
hatinya kembali. Melatih keberanian melihat langit luas, melihat luasnya dunia.
Sampai pada suatu titik dia memutuskan kembali terbang. Dia tak ingin
mengatakan apapun pada pohon itu, biarlah dia bahagia dengan gagak lain itu. Gagak
itu memutuskan pergi, tempat indah di dunia ini bukan hanya pohon itu. Gagak itu
memutuskan terbang kembali. Menguasai langit. Mengejar mimpinya.
Begitulah ceritanya.
Tentang gagak yang pernah patah, tapi memilih menguasai langit kembali.
Sang Gagak, Yang pernah patah.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik meninggalkan jejak. :)