27 Mei 2013
Ketika si Petualang Merindukan Petualang Lainnya (edit).
Jogja tengah menangis, seolah-olah dia bisa membaca isi hatiku. Matahari sudah sejak tadi pundung dan pulang ke peraduanya. Sedangkan si rembulan justru bangun kesiangan, sehingga belum muncul hingga saat ini. Kosong. Jogja benar - benar terasa kosong. Aku sendiri malas untuk bergerak, menyimpan kalori, atau memang aku malas. Jogja tak semenarik biasanya. Setiap tempat yang aku kunjungi selalu memberikan sebuah efek "ngenes" dan sebuah pementasan buram, layaknya film jadul tapi aku yang ada di dalamnya, bersama seorang gadis.
Iya, gadis itu pergi meninggalkan Jogja Jumat kemarin. Dia bilang dia bukan "pulang" ke Pekanbaru, tapi "pergi" ke Pekanbaru, karena dia beranggapan Jogja adalah rumahnya. Ya, gadis mungil itu sejak kecil sudah bermimpi untuk bisa ke Jogja, dia bahkan selalu bercerita tentang betapa spesialnya Jogja bagi dia, bahkan aku yang sudah hampir 1 tahun di Jogja justru banyak bertanya tentang Jogja padanya. Sebenarnya aku cemburu, cemburu pada Jogja. Gadis yang dari kecil sampai sekarang sangat suka tempe ini bahkan bilang Malioboro adalah jalan yang wajib dilewati setiap hari.
Aku tidaklah asal tulis tentang dia. Dia adalah "musuh" masa kecilku. Iya, dia adalah musuhku di taman kanak-kanak hingga SD. Tiada hari tanpa percekcokan bagi kami, aku biang ribut di kelas, sedangkan dia si pencatat yang ribut di kelas. Dia adalah murid kebanggaan dan kepercayaan para guru, aku? ya, aku adalah murid yang selalu bisa membuat para guru naik darah. Dia gadis yang cerdas, jago Bahasa Inggris, jago menulis, dia bisa di banyak hal waktu itu. Dia adalah primadona sekolah.
Waktu berjalan dengan sendirinya. Dia tumbuh menjadi gadis yang penakut. Dia mengarungi waktu dengan ketakutan akan masa lalu. Dia tak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Kalau ibarat buah yang jatuh dari pohonnya, dia secara kebetulan jatuh di sungai yang salah, sungai deras yang membawanya ketempat - tempat yang menakutkan, tapi dia bukannya menjadi berani dia justru semakin terbebani dengan masa lalunya itu. Dia takut untuk melawan arus sungai itu. Seorang trainer pernah berkata padaku bahwa jika ingin sukses kita harus melepaskan semua beban dimasa lalu, sehingga kita bisa dengan mudah terbang menggapai mimpi kita.
Akan tetapi apa yang si petualang penakut itu lakukan padaku? Dia menanamkan keberanian dalam diriku. Dia mampu membuatku berani mengarungi jalan-jalan yang belum pernah kulewati seblumnya. Dia mengajakku hanyut dalam sungainya. Aku menikmati setiap pelayaranku dengannya, mengunjungi tempat-tempat baru dalam hidupku, bertemu wajah-wajah baru yang luar biasa. Dia (pernah) menjadikanku sempurna. Pada akhirnya aku tahu bahwa Jogja akan tetap menjadi tempat yang spesial baginya, tapi Jogja bukanlah tempat yang spesial tanpanya. Jadi untuknya aku berkata, terimakasih membuat Jogja terasa spesial.
Yang pernah selalu menunggumu di Jogja.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik meninggalkan jejak. :)