Mau lihat versi video? klik di sini aja.
26 Maret 2014
23 Maret 2014
Hakikat Manusia
Biasa. Semua masih biasa. Matahari masih setia dengan jalurnya, terbit untuk menghiasi cakrawala dari timur, untuk kemudian kembali ke peraduannya di barat. Hujan masih turun ke bawah, membawa dedebuan bersamanya. Bendera parpol yang seperti pelangi pun masih senantiasa berkibar tiada henti. Ladang padi pun masih senantiasa hijau, para petani masih harus bersabar, belum waktunya panen.
Namun ada yang berbeda. Sedikit. Ya, perbedaanya hanya terletak di bibir, matahari masih terbit seperti biasanya, namun saat matahari terbit aku tersenyum. Hujan mungkin turun seperti biasa, cuma kali ini aku tersenyum. Bendera parpol juga membuatku tersenyum. Melihat ladang padi yang luas? Aku tersenyum lebar. Ya, semua membawa senyuman padaku.
Matahari terbit, menandakan dia akan segera bangun. Hujan? Dia berujar dia suka hujan. Bendera parpol? Ya bendera parpol merah lah yang kugunakan untuk menandai gang menuju rumahnya. Ladang padi yang luas? Ya, itu pemandangan indah dari sekitar rumahnya.
Aku tersenyum. Bahagia? Mungkin. Karena pada faktanya aku tidak tau apa yang sebenarnya aku rasakan. Terkadang sedih, namun kadang berujung senyuman. Yah, dia. Seseorang yang di luar jangkauanku, temanku. Yah, mungkin inilah yang membedakan antara cinta dan nafsu. Cinta sudah seharusnya bahagia, ia tidak dibumbui nafsu untuk memiliki. Ataukah pemahamanku yang kurang? Namun memang begitulah hakikat manusia, belajar. Jadi, Tuhan..., izinkan aku mengenal cinta lebih jauh.
20 Maret 2014
Smile, Please!
Yeah, sure. I'll always smile for you, but there'll be a time that i'll be disappear. The time when i see your sweetest smile. Smile of happiness, happiness from deep inside your heart. You must be happy, Fire!
14 Maret 2014
Cara Terbaik Menikmati Kopi Tanpa Gula
Berbicara
tentang kopi. Dia adalah teman. Serbuk hitam dengan aroma menggelitik hidung
yang bila di guyur air panas. Tanpa gula karena ini akhir bulan. Mungkin
kebanyakan orang akan langsung bergidik kepahitan. Kopi itu menusuk – nusuk
indra perasanya. Panas juga membakar lidah mereka. Kopi itu tidak bersahabat
dengan kabanyakan orang. Tapi dia bersahabat denganku. Dia menemaniku
menghabiskan malam. Menemaniku melawan angin yang menari di sekujur tubuhku. Menyelimutiku dari
dinginnya malam di kawasan bogor pelosok, di sebuah asrama khusus cowok. Iya,
dia adalah temanku menunggu FC Bayern Munchen yang akan memperjuangkan
kehormatannya di lapangan hijau sana.
Aku agak buram
soal pertandingan malam itu. Itu adalah tiga tahun lalu. Tepatnya di babak 16
besar liga champions. Para ksatria bavaria akan berjuang membalaskan dendam di
final 2010. Medan perang yang sangat sulit waktu itu, Giuseppe Meazza. Inter
milan sang lawan waktu itu masih dalam masa jayanya, meski baru ditinggal
induknya. Sekali lagi itu adalah medan perang yang sulit bagi para ksatria
bavaria. Badanku tak hentinya merinding, adrenalin mengalir keseluruh tubuh. Dalam hati aku terus berdoa, semoga para
idolaku disana mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya, juga semoga para
pembina asrama tertidur lelap malam ini. Iya. Bukan hal mudah untuk bisa
menyaksikan pertandingan itu.
Aku tinggal di
asrama, dengan sembilan orang pembina asrama yang lebih pantas disebut malaikat
pencabut nyawa. Hanya ada satu televisi di asramaku, tepat di tengah – tengah
koridor asrama. Dia nyaman tebungkus sebuah box dari besi yang tidak tembus
pandang. Untuk menontonnya di luar jam “diperbolehkan” menonton tv aku harus
berdiri di atas meja, membuka paksa tutup nya dan mengganjalnya dengan sikat
cucian. Bukan perkara yang mudah, juga
tentu saja para pembina asrama yang bisa berkeliaran sepanjang waktu memastikan
para anak didiknya sudah tidur. Yang selalu siap menangkap siapa saja yang
masih berkeliaran, apalagi menonton tv secara illegal, sudah pasti besoknya
rambut di kepalanya hanya tinggal beberapa milimeter. Iya, ini tentang
perjuangan.
Malam itu cukup
dingin, lagu khas liga champions telah berputar. Pemain – pemain keluar menuju
lapangan. Aku berdiri di atas meja, mengintip dari samping kedalam televisi. Para
kstatria bavaria mengenakan baju perang bergaris – garis, merah dan putih.
Penuh keberanian melawan para pasukan ular biru hitam. Aku berdiri selama
hampir sembilan puluh menit. Kecuali saat half time tentunya. Dalam pertandingan
itu aku hanya bersorak sekali, saat Mario gomez memasukan bola ke jala Inter
setelah meneruskan tendangan Robben yang masih mampu ditepis Julio cesar.
Bangga. Perasaan yang aku rasakan waktu itu. Rasanya seperti bisa memaksa orang
– orang yang menghina Munchen saat itu menjilat ludahnya yang mulai mengering
ditanah. Munchen mampu membalaskan dendam. Mengalahkan inter milan di rumah
mereka.
Aku kembali ke
kamar. Meneguk kopi yang masih tersisa di gelas. Kemudain teman sekamarku
terbangun. Menyerobot kopiku dan meminumnya.
“BRRTT...
Jancuuuk...!!!” pekiknya sembari memuntahkan kopi yang baru diseruputnya
sedikit itu. Iya kopi itu memang pahit. Kopi tanpa gula. Tapi sekali lagi aku
katakan. Kopi itu terasa begitu nikmat di lidahku. Tak perlu gula dari perasan
tebu hasil para petani. Kemenangan Munchen malam itu adalah gula bagiku. Suatu
substrat yang mengubah sesuatu yang amat sederhana menjadi sebuah kemewahan.
Sebuak kenikmatan. Ya inilah ceritaku yang menikmati pertandingan FC Bayern
Munchen dalam kesederhanaan. Inilah caraku menikmati kopi hitam tanpa gula.
Tulisan ini dimuat di SuaraFans dan mendapat peringkat ke-3 dalam lomba menulis tersebut.
5 Maret 2014
Donat, Dia, Warna, Manis
Di depanku
terdapat tumpukan donat penuh warna, ada yang hitam ditaburi putih, ada yang
berbentuk hati dengan taburan meses merah muda, dan beberapa lilin tengah
berjuang melawan api yang melahap tubuhnya. Aku memejamkan mata sejenak.
Mencoba mengusik hati paling dalam, mengorek keinginan dasar hatiku. Sulit.
Hatiku lama merespon. Dia takut, takut kecewa oleh harapannya sendiri.
“Aku berharap
dia, mewarna bersama ku,” kataku dalam hati sebagai sebuah harapan sebelum
meniup lilin ulang tahun, mata ini juga melihat ke arah seseorang. Ini adalah harapan yang sangat egois, yang
mungkin malah akan melukai lebih dalam. Aku yakin Tuhan tau maksud kuletakkan tanda
koma di dalam doa ku.
Aku
melihat ke dalam tumpukan donat, jauh ke
dalam. Aku terpesona. Indah, penuh warna. Ada putih, ada merah, ada kuning, ada
merah muda, ada hitam. Seperti sebuah kehidupan. Hitam adalah musibah,
kesedihan, bencana. Akan tetapi tanpa hitam untaian warna – warna tadi tidak
akan terlihat indah. Beberapa orang begitu mendambakan cinta, merah muda. Bayangkan
saja tuhan memberikan sebuah kehidupan penuh cinta, bahagia, selalu merah muda.
Apakah itu terlihat indah? Bagiku itu datar, monoton, membosankan.
Terkadang
sesuatu yang kita harapkan tidak terjadi, warna yang kita inginkan tidak
muncul. Itu karena tuhan tahu warna yang lebih baik untuk memperindah lukisan
hidup kita. Tuhan adalah seorang pelukis, pelukis kehidupan. Merah muda juga
memerlukan berapa biru, beberapa merah, beberapa putih, beberapa warna – warna
lain, bahkan beberapa hitam untuk benar – benar menjadi sebuah maha karya,
lukisan kehidupan yang indah.
Aku jadi
melihat kebelakang sejenak, mungkin kalau saat itu aku tidak jatuh dalam
kelamnya kesedihan, aku tidak akan sebahagia ini. Kalau tadi pagi ban motor ku
tidak bocor, mungkin aku tidak punya kesempatan memanjatkan doa ini. Meskipun
tetap kesedihan selalu melanda ketika hitam datang. Jujur, aku baru saja
terjatuh ke dalam jurang keterpurukan yang sangat dalam. Gelap. Mimpi – mimpiku
bahkan menguap meninggalkan diriku sendiri. Mimpi yang seharusnya menjadi
sayapku rontok. Tapi pada akhirnya aku sadar, aku dapat melihat sesuatu yang
sebelumnya tidak dapat kulihat dari atas. Siapakah teman sejati, yang
mengulurkan tangan membantu penuh senyum, atau yang justru tertawa bahagia
melihatku terpuruk. Semua terlihat dengan jelas. Aku bahkan juga mampu untuk
kembali melihat senyumnya, senyum kesukaanku sejak lama. Yah, sometimes falling
is the best part.
Bisa aku
katakan itu adalah hitam, masa laluku hitam. Mungkin hanya sebagian, aku harus
melihatnya dari jauh agar terlihat indah, mungkin. Aku jadi ingin menyimpulkan
warna masalalu ku. Putih? Hmmmm, atau biru? Apa merah? Ah aku tidak tau, warna
apapun itu, yang jelas itu adalah warna gemerlap penuh harta. Lalu, aku juga
menjadi penasaran akan warna di masa depanku, lukisan seperti apa yang tuhan
buatkan untuk kehidupanku? Ah, biarlah itu tuhan yang memutuskan, yang jelas warna
apapun itu, itu masih harus diberi banyak warna. Agar hidupku menjadi sebuah
mahakarya. Untuk itulah aku berharap dia, aku berharap manis.
FIUUUHHH
Lilin – lilin itu
sekarang bernafas lega setelah diselamatkan dari lumatan api, doa – doaku pun
berlari penuh harap kepada tuhan. Menyisakan tumpukan donat untuk menjadi korban para insan kelaparan. Selamat
ulang tahun Redo Febri Yanto.
Langganan:
Postingan (Atom)