Berbicara
tentang kopi. Dia adalah teman. Serbuk hitam dengan aroma menggelitik hidung
yang bila di guyur air panas. Tanpa gula karena ini akhir bulan. Mungkin
kebanyakan orang akan langsung bergidik kepahitan. Kopi itu menusuk – nusuk
indra perasanya. Panas juga membakar lidah mereka. Kopi itu tidak bersahabat
dengan kabanyakan orang. Tapi dia bersahabat denganku. Dia menemaniku
menghabiskan malam. Menemaniku melawan angin yang menari di sekujur tubuhku. Menyelimutiku dari
dinginnya malam di kawasan bogor pelosok, di sebuah asrama khusus cowok. Iya,
dia adalah temanku menunggu FC Bayern Munchen yang akan memperjuangkan
kehormatannya di lapangan hijau sana.
Aku agak buram
soal pertandingan malam itu. Itu adalah tiga tahun lalu. Tepatnya di babak 16
besar liga champions. Para ksatria bavaria akan berjuang membalaskan dendam di
final 2010. Medan perang yang sangat sulit waktu itu, Giuseppe Meazza. Inter
milan sang lawan waktu itu masih dalam masa jayanya, meski baru ditinggal
induknya. Sekali lagi itu adalah medan perang yang sulit bagi para ksatria
bavaria. Badanku tak hentinya merinding, adrenalin mengalir keseluruh tubuh. Dalam hati aku terus berdoa, semoga para
idolaku disana mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya, juga semoga para
pembina asrama tertidur lelap malam ini. Iya. Bukan hal mudah untuk bisa
menyaksikan pertandingan itu.
Aku tinggal di
asrama, dengan sembilan orang pembina asrama yang lebih pantas disebut malaikat
pencabut nyawa. Hanya ada satu televisi di asramaku, tepat di tengah – tengah
koridor asrama. Dia nyaman tebungkus sebuah box dari besi yang tidak tembus
pandang. Untuk menontonnya di luar jam “diperbolehkan” menonton tv aku harus
berdiri di atas meja, membuka paksa tutup nya dan mengganjalnya dengan sikat
cucian. Bukan perkara yang mudah, juga
tentu saja para pembina asrama yang bisa berkeliaran sepanjang waktu memastikan
para anak didiknya sudah tidur. Yang selalu siap menangkap siapa saja yang
masih berkeliaran, apalagi menonton tv secara illegal, sudah pasti besoknya
rambut di kepalanya hanya tinggal beberapa milimeter. Iya, ini tentang
perjuangan.
Malam itu cukup
dingin, lagu khas liga champions telah berputar. Pemain – pemain keluar menuju
lapangan. Aku berdiri di atas meja, mengintip dari samping kedalam televisi. Para
kstatria bavaria mengenakan baju perang bergaris – garis, merah dan putih.
Penuh keberanian melawan para pasukan ular biru hitam. Aku berdiri selama
hampir sembilan puluh menit. Kecuali saat half time tentunya. Dalam pertandingan
itu aku hanya bersorak sekali, saat Mario gomez memasukan bola ke jala Inter
setelah meneruskan tendangan Robben yang masih mampu ditepis Julio cesar.
Bangga. Perasaan yang aku rasakan waktu itu. Rasanya seperti bisa memaksa orang
– orang yang menghina Munchen saat itu menjilat ludahnya yang mulai mengering
ditanah. Munchen mampu membalaskan dendam. Mengalahkan inter milan di rumah
mereka.
Aku kembali ke
kamar. Meneguk kopi yang masih tersisa di gelas. Kemudain teman sekamarku
terbangun. Menyerobot kopiku dan meminumnya.
“BRRTT...
Jancuuuk...!!!” pekiknya sembari memuntahkan kopi yang baru diseruputnya
sedikit itu. Iya kopi itu memang pahit. Kopi tanpa gula. Tapi sekali lagi aku
katakan. Kopi itu terasa begitu nikmat di lidahku. Tak perlu gula dari perasan
tebu hasil para petani. Kemenangan Munchen malam itu adalah gula bagiku. Suatu
substrat yang mengubah sesuatu yang amat sederhana menjadi sebuah kemewahan.
Sebuak kenikmatan. Ya inilah ceritaku yang menikmati pertandingan FC Bayern
Munchen dalam kesederhanaan. Inilah caraku menikmati kopi hitam tanpa gula.
Tulisan ini dimuat di SuaraFans dan mendapat peringkat ke-3 dalam lomba menulis tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik meninggalkan jejak. :)