14 Maret 2014

Cara Terbaik Menikmati Kopi Tanpa Gula



Berbicara tentang kopi. Dia adalah teman. Serbuk hitam dengan aroma menggelitik hidung yang bila di guyur air panas. Tanpa gula karena ini akhir bulan. Mungkin kebanyakan orang akan langsung bergidik kepahitan. Kopi itu menusuk – nusuk indra perasanya. Panas juga membakar lidah mereka. Kopi itu tidak bersahabat dengan kabanyakan orang. Tapi dia bersahabat denganku. Dia menemaniku menghabiskan malam. Menemaniku melawan angin yang  menari di sekujur tubuhku. Menyelimutiku dari dinginnya malam di kawasan bogor pelosok, di sebuah asrama khusus cowok. Iya, dia adalah temanku menunggu FC Bayern Munchen yang akan memperjuangkan kehormatannya di lapangan hijau sana.
Aku agak buram soal pertandingan malam itu. Itu adalah tiga tahun lalu. Tepatnya di babak 16 besar liga champions. Para ksatria bavaria akan berjuang membalaskan dendam di final 2010. Medan perang yang sangat sulit waktu itu, Giuseppe Meazza. Inter milan sang lawan waktu itu masih dalam masa jayanya, meski baru ditinggal induknya. Sekali lagi itu adalah medan perang yang sulit bagi para ksatria bavaria. Badanku tak hentinya merinding, adrenalin mengalir keseluruh tubuh.   Dalam hati aku terus berdoa, semoga para idolaku disana mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya, juga semoga para pembina asrama tertidur lelap malam ini. Iya. Bukan hal mudah untuk bisa menyaksikan pertandingan itu.
Aku tinggal di asrama, dengan sembilan orang pembina asrama yang lebih pantas disebut malaikat pencabut nyawa. Hanya ada satu televisi di asramaku, tepat di tengah – tengah koridor asrama. Dia nyaman tebungkus sebuah box dari besi yang tidak tembus pandang. Untuk menontonnya di luar jam “diperbolehkan” menonton tv aku harus berdiri di atas meja, membuka paksa tutup nya dan mengganjalnya dengan sikat cucian. Bukan perkara yang mudah,  juga tentu saja para pembina asrama yang bisa berkeliaran sepanjang waktu memastikan para anak didiknya sudah tidur. Yang selalu siap menangkap siapa saja yang masih berkeliaran, apalagi menonton tv secara illegal, sudah pasti besoknya rambut di kepalanya hanya tinggal beberapa milimeter. Iya, ini tentang perjuangan.
Malam itu cukup dingin, lagu khas liga champions telah berputar. Pemain – pemain keluar menuju lapangan. Aku berdiri di atas meja, mengintip dari samping kedalam televisi. Para kstatria bavaria mengenakan baju perang bergaris – garis, merah dan putih. Penuh keberanian melawan para pasukan ular biru hitam. Aku berdiri selama hampir sembilan puluh menit. Kecuali saat half time tentunya. Dalam pertandingan itu aku hanya bersorak sekali, saat Mario gomez memasukan bola ke jala Inter setelah meneruskan tendangan Robben yang masih mampu ditepis Julio cesar. Bangga. Perasaan yang aku rasakan waktu itu. Rasanya seperti bisa memaksa orang – orang yang menghina Munchen saat itu menjilat ludahnya yang mulai mengering ditanah. Munchen mampu membalaskan dendam. Mengalahkan inter milan di rumah mereka.
Aku kembali ke kamar. Meneguk kopi yang masih tersisa di gelas. Kemudain teman sekamarku terbangun. Menyerobot kopiku dan meminumnya.

“BRRTT... Jancuuuk...!!!” pekiknya sembari memuntahkan kopi yang baru diseruputnya sedikit itu. Iya kopi itu memang pahit. Kopi tanpa gula. Tapi sekali lagi aku katakan. Kopi itu terasa begitu nikmat di lidahku. Tak perlu gula dari perasan tebu hasil para petani. Kemenangan Munchen malam itu adalah gula bagiku. Suatu substrat yang mengubah sesuatu yang amat sederhana menjadi sebuah kemewahan. Sebuak kenikmatan. Ya inilah ceritaku yang menikmati pertandingan FC Bayern Munchen dalam kesederhanaan. Inilah caraku menikmati kopi hitam tanpa gula.

Tulisan ini dimuat di SuaraFans dan mendapat peringkat ke-3 dalam lomba menulis tersebut.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik meninggalkan jejak. :)